Memahami Perubahan Tarif Ekspor ke AS: Apa yang Perlu Diperhatikan Pelaku UMKM?
Tarif ekspor Indonesia ke AS turun dari 32 persen menjadi 19 persen. Blog ini membahas apa arti perubahan ini bagi UMKM, tantangan yang perlu dihadapi, dan langkah adaptasi yang mulai dilakukan agar tetap kompetitif di pasar global.
Gabriella C.
7/17/20253 min read


Dalam dinamika perdagangan internasional, perubahan kebijakan bukan hal yang luar biasa. Namun ketika sebuah negara mitra dagang besar seperti Amerika Serikat mengubah ketentuan tarif terhadap produk Indonesia, pihak yang perlu mencermatinya dengan sesama adalah pelaku usaha atau bisnis, termasuk UMKM.
Salah satu perkembangan terbarunya adalah penurunan tarif impor, yang awalnya 32% sekarang menjadi 19%. Angka ini muncul sebagai bagian dari hasil negosiasi dari kedua negara dan disebut masih dapat berubah sebelum diberlakukan penuh.
Walau belum final, perubahan ini menjadi momentum bagi pelaku usaha agar dapat mengevaluasi kembali strategi ekspor, khususnya bagi pelaku usaha yang terlibat langsung dalam ekspor impor ini. Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana pelaku usaha mempersiapkan diri, bukan hanya menunggu kepastian.
Tarif 19%: UMKM Wajib Siaga Hadapi Dua Sisi Mata Uang
Rencana tarif 19% dari Amerika Serikat terhadap produk Indonesia memunculkan dua wajah dampak yang perlu dicermati pelaku UMKM. Di satu sisi, tantangan terbuka lebar. Tapi disisi lain, peluang juga ikut muncul, tergantung bagaimana UMKM menyikapinya.
Dari sisi tekanan, produk Indonesia yang masuk pasar AS akan otomatis mengalami kenaikan harga. Dalam kompetisi global, ini berarti barang dari Indonesia bisa kalah bersaing dengan produk sejenis dari negara lain seperti Vietnam atau India, yang tidak terkena tarif serupa. Bagi UMKM yang belum efisien secara biaya dan produksi, tambahan beban ini berpotensi membuat mitra dagang mulai berpikir ulang.
Permintaan pun bisa tergerus, terutama untuk barang setengah jadi atau komoditas yang sensitif terhadap fluktuasi harga. Beberapa pelaku usaha sudah mulai menghitung ulang margin dan biaya ekspor jika skema ini resmi berlaku.
Namun dibalik tekanan tersebut, ada celah adaptasi. Beberapa pelaku usaha mulai menjadikan kondisi ini sebagai dorongan untuk menaikkan nilai tambah produk. Pelaku usaha yang awalnya hanya menjual bahan mentah, menjadi produk siap konsumsi atau kemasan ekspor yang lebih kuat. Situasi ini juga membuka ruang evaluasi: apakah selama ini terlalu bergantung pada satu pasar? Apakah branding dan strategi harga sudah cukup kompetitif?
Tarif ini memang bisa menjadi tekanan bagi pelaku usaha, tapi juga bisa menjadi titik balik untuk bertransformasi. UMKM yang sigap membaca perubahan akan lebih kuat menghadapi dinamika pasar global.
UMKM Mulai Bergerak: Adaptasi Bukan Lagi Pilihan, Tapi Kebutuhan
“Indonesia akan membayar tarif sebesar 19% kepada Amerika Serikat untuk semua barang yang mereka ekspor ke kami,” ujar Presiden AS Donald Trump dalam pernyataannya baru-baru ini. Menyusul pengumuman tersebut, pelaku UMKM Indonesia mulai mencermati kembali arah pasarnya. Dari strategi distribusi hingga bentuk produk, berbagai langkah adaptasi mulai dirancang untuk tetap menjaga posisi di pasar global.
Langkah pertama yang kini mulai dilirik adalah mencari pasar alternatif di luar Amerika Serikat. Negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Jepang, Korea Selatan, dan bahkan negara-negara di Eropa Timur mulai muncul sebagai opsi ekspor baru. Di tengah dinamika global, permintaan produk UMKM Indonesia di kawasan tersebut justru menunjukkan tren positif.
Di sisi lain, beberapa pelaku usaha mulai menaikkan level produknya. Jika sebelumnya hanya menjual bahan mentah atau produk setengah jadi, kini mereka fokus pada produk akhir yang siap jual, seperti kopi dalam kemasan, kerajinan siap pakai, atau produk tekstil yang telah dikurasi dan diberi sentuhan desain. Tujuannya sederhana: menambah nilai, sekaligus mengimbangi biaya tarif yang lebih tinggi dengan kualitas yang layak dihargai lebih.
Selain itu, upaya efisiensi di sisi operasional juga mulai menjadi perhatian. Banyak pelaku usaha kini berupaya memaksimalkan tenaga kerja yang ada, menyusun ulang proses produksi, dan menekan biaya yang tidak berdampak langsung pada kualitas. Dalam situasi seperti ini, efisiensi bukan hanya soal penghematan, tapi bagian dari strategi bertahan yang realistis dan berkelanjutan.
Mengembangkan jalur distribusi digital juga bisa menjadi opsi adaptasi yang patut dipertimbangkan. Platform seperti Shopee Global, TikTok Shop, Tokopedia Ekspor, hingga Etsy menawarkan akses langsung ke pasar luar negeri tanpa perlu bergantung pada distributor besar. Dengan mempersiapkan kemasan layak ekspor dan sistem logistik yang efisien, pelaku UMKM bisa menjangkau konsumen internasional secara lebih fleksibel dan hemat biaya. Di tengah ketatnya persaingan harga akibat tarif, kecepatan dan kedekatan dengan pembeli bisa menjadi keunggulan baru.
Tarif 19% dari Amerika Serikat memang menandai babak baru dalam hubungan dagang Indonesia-AS. Meski membawa tantangan tersendiri bagi pelaku usaha, terutama UMKM, langkah diplomatik pemerintah yang berhasil menurunkan angka dari sebelumnya 32% patut diapresiasi sebagai bentuk upaya menjaga akses pasar ekspor tetap terbuka.
Bagi pelaku UMKM, situasi ini menjadi pengingat bahwa dinamika global bisa berubah sewaktu-waktu. Namun, dengan kesiapan, ketahanan, dan penyesuaian yang tepat, baik dari sisi pasar, produk, maupun proses, UMKM tetap memiliki ruang untuk tumbuh dan beradaptasi.
Perubahan bisa jadi tekanan, tapi juga bisa menjadi pijakan untuk langkah yang lebih kuat ke depan.
PT Sinergi Wira Konsultama
021-22708806
business@barawiraconsulting.com
Barawira Consulting
Elevating Your Business.
© 2025 Barawira Consulting. All rights reserved.
Privacy Policy | Terms of Use